Akhir-akhir ini di Jalur Pantura Jawa Barat dan Jawa Tengah telah terjadi serangan hama wereng coklat yang cukup mengkhawatirkan bahkan sudah dianggap kejadian luar biasa (KLB). Intensitas serangan hama tinggi terdapat di Kabupaten Subang, Karawang, dan Purwakarta (Jawa Barat) dan di Kabupaten Pati, Kudus, Demak dan Jepara (Jawa Tengah).
Sejak Agustus 2009 lalu, serangan wereng coklat ini mulai terjadi di Kecamatan Ciasem, Kec. Pamanukan, Jawa Barat. Serang ini terus mengalami perluasan ke Kecamatan Patokbeusi, Pabuaran, Ciasem, dan Blanakan, Jawa Barat dengan total luasan mencapai 2964 dengan intensitas serangan berat.
Hama wereng coklat Nilaparvata lugens (Stal) menjadi salah satu hama utama tanaman padi di Indonesia sejak pertengahan tahun 1970-an. Awal mula munculnya hama wereng coklat adalah sebagai konsekuensi dari penerapan sistem intensifikasi padi (varietas unggul, pemupukan N dosis tinggi, penanaman IP>200, penggunaan insektisida yang tidak tepat jenis, dosis, dan waktu aplikasi).
Terjadinya ledakan hama wereng coklat di daerah Pantura Jawa Barat pada musim tanam 2010 ini dikarenakan waktu tanam tidak serempak, varietas rentan, dan petani banyak menggunakan insektisida tidak direkomendasikan. Hal ini menyebabkan resurgensi hama wereng coklat.
Dalam keadaan panik, petani mencampur insektisida dengan berbagai bahan lain seperti solar, oli dan baygon. Pengetahuan petani mengenai teknik pengendalian hama wereng coklat masih kurang.
Hal ini ditunjukkan masih ditemukan petani mencampur 2-3 macam insektisida, waktu penyemprotan yang tidak tepat, dan penyemprotan dilakukan di atas kanopi tanaman padi dan dilakukan pada pagi hari yang embunnya masih tinggi sehingga menyebabkan efikasi insektisida rendah.
Dampak kerugian yang ditimbulkan oleh adanya ledakan wereng coklat ini sangat luas. Di areal BB Padi sekitar 350 ha pertanaman padi berumur sekitar 15-30 hari setelah tanam harus dieradikasi dan ditanam ulang. Akibat dari eradikasi ini kerugian yang diderita petani penggarap dan kebun percobaan mencapai 1,5 milyar rupiah untuk penggarapan lahan dan sarana produksi. Kerugian yang lebih besar lagi adalah hilangnya materi-materi penelitian seperti plasma nutfah dan lain-lain yang tidak ternilai dengan uang ( sumber : Sinar Tani Online )